Oleh Sheikh Muhammad Jamil Zainu
A. Hal-Hal
Yang Membatalkan Puasa Ada Dua Macam
1. Yang membatalkan puasa dan hanya wajib mengqodho-nya
saja, yaitu :
Muntah
dengan sengaja, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam :
مَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ القَضَاء
”Barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib atasnya qodho’.”
(Shahih, HR Hakim dan selainnya).
b. Wanita
haidh atau nifas, walaupun ia berada pada waktu akhir menjelang terbenamnya
matahari.
2. Yang membatalkan puasa dan wajib mengqodho’ serta
membayar kafarat, yaitu: Jima’ (bersetubuh) dan tidak ada selainnya menurut
mayoritas ulama.
Kafarat-nya
yaitu membebaskan budak, apabila tidak ada budak maka berpuasa dua bulan
berturut-turut, apabila tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Sebagian
ulama tidak mensyaratkan harus berurutan di dalam kafarat (maksudnya boleh
memilih salah satu diantara tiga)
B. Hal-Hal
Yang Tidak Membatalkan Puasa
1. Makan dan minum karena lupa, keliru (maksudnya,
mengira sudah waktunya buka ternyata belum) atau terpaksa. Tidak wajib
mengqodho’-nya ataupun membayar kafarat, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam
”Barangsiapa yang lupa sedangkan ia berpuasa, lalu ia makan dan minum,
maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberinya
makan dan minum.” (Muttafaq ’alayhi).
Dan sabda
beliau, ”Sesungguhnya Allah mengangkat (beban taklif) dari umatku (dengan
sebab) kekeliruan, lupa dan keterpaksaan.” (Shahih, HR Thabrani).
2. Muntah tanpa disengaja, sebagaimana sabda Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
”Barangsiapa yang mengalami muntah sedangkan ia dalam keadaan puasa maka
tidak wajib atasnya mengqodho’.” (Shahih, HR Hakim).
3. Mencium isteri, baik untuk orang yang telah tua
maupun pemuda selama tidak sampai menyebabkan terjadinya jima’.
Dari ’Aisyah
Radhiyallahu Anha beliau berkata, ”Rasulullah pernah menciumi (isteri-isteri
beliau) sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa, beliau juga pernah bermesraan
sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling
mampu menahan hasratnya,” (muttafaq ’alayhi).
4. Mimpi basah di siang hari walaupun keluar air mani.
5. Keluarnya air mani tanpa sengaja seperti orang yang
sedang berkhayal lalu keluar (air mani).
6. Mengakhirkan mandi janabat, haidh atau nifas dari
malam hari hingga terbitnya fajar. Namun yang wajib adalah menyegerakannya
untuk menunaikan shalat.
7. Berkumur dan istinsyaq (menghirup air ke dalam rongga
hidung) secara tidak berlebihan, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam kepada Laqith bin Shabrah,
أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ
الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
”Sempurnakan wudhu’ dan sela-selailah jari jemari serta hiruplah air
dengan kuat (istinsyaq) kecuali apabila engkau sedang berpuasa.” (Shahih,
HR ahlus sunan).
8. Menggunakan siwak kapan saja, dan yang semisal dengan
siwak adalah sikat gigi dan pasta gigi, dengan syarat selama tidak masuk ke
dalam perut.
9. Mencicipi makanan dengan syarat selama tidak ada
sedikitpun yang masuk ke dalam perut.
10. Bercelak dan meneteskan obat mata
ke dalam mata atau telinga walaupun ia merasakan rasanya di tenggorokan.
11. Suntikan (injeksi) selain injeksi
nutrisi dalam berbagai jenisnya. Karena sesungguhnya, sekiranya injeksi
tersebut sampai ke lambung, namun sampainya tidak melalui jalur (pencernaan)
yang lazim/biasa.
12. Menelan air ludah yang berlendir
(dahak), dan segala (benda) yang tidak mungkin menghindar darinya, seperti
debu, tepung atau selainnya (partikel-partikel kecil yang terhirup hingga masuk
tenggorokan dan sampai perut, pent.).
13. Menggunakan obat-obatan yang tidak
masuk ke dalam pencernaan seperti salep, celak mata, atau obat semprot
(inhaler) bagi penderita asma.
14. Gigi putus, atau keluarnya darah
dari hidung (mimisan), mulut atau tempat lainnya.
15. Mandi pada siang hari untuk
menyejukkan diri dari kehausan, kepanasan atau selainnya.
16. Menggunakan wewangian di siang hari
pada bulan Ramadhan, baik dengan dupa, minyak maupun parfum.
17. Apabila fajar telah terbit
sedangkan gelas ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan-nya melainkan
setelah ia menyelesaikan hajat-nya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ
وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
”Apabila salah seorang dari kalian telah mendengar adzan dikumandangkan
sedangkan gelas masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya
sampai ia menyelesaikan hajat-nya tersebut.” (Shahih, HR Abu Dawud).
18. Berbekam, “karena Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam pernah berbekam sedangkan beliau dalam keadaan
berpuasa.” (muttafaq ’alayhi). Adapun hadits yang berbunyi,”Orang
yang membekam dan dibekam batal puasanya” (Shahih, HR Ahmad) maka
statusnya mansukh (terhapus) dengan hadits sebelumnya dan dalil-dalil
yang lainnya.
Ibnu Hazm berkata, ”Hadits ”orang yang membekam dan dibekam batal
puasanya” adalah shahih tanpa diragukan lagi, akan tetapi kami mendapatkan
di dalam hadits Abu Sa’id, ”Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
memberikan keringanan berbekam bagi orang yang berpuasa” dan sanad
hadits ini shahih sehingga wajib menerimanya.
Oleh sebab
keringanan (rukhshah) itu terjadi setelah ’azimah (ketetapan), maka (hal ini)
menunjukkan atas dinaskh (dihapusnya) hadits yang menjelaskan batalnya puasa
karena bekam, baik itu orang yang membekam maupun yang dibekam.” (Lihat Fathul
Bari 4:178).
Semoga
TIps-tips diatas bermanfaat dan dapat memberikan kita pengetahuan lebih sehingga kita lebih
dekat dengan kebaikan dan selalu dijalan ALLAH SWT.
Sumber : Irfan
Nugroho