Oleh
Kota Kediri pada 11 Januari 2012 pukul 6:13
Karya Harry Poeze yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 sungguh luar biasa dari segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194 halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda, tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah modern Indonesia.
Dalam lintasan
sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri yang namanya
hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa. Sehingga tak heran
jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus Direktur KITLV Belanda, menulis
disertasi mengenai Tan Malaka pada tahun 1976 yang kemudian diterjemahkan ke
bahasa Indonesia dalam dua jilid. Poeze kemudian melanjutkan buku kisah
perjalanan hidup Tan Malaka ini sampai akhir hayatnya pada 1949, yang dalam
buku tersebut diungkap mengenai lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur dan
siapa yang menembaknya.
Karya Harry Poeze yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 sungguh luar biasa dari segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194 halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda, tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah modern Indonesia.
Penelusuran
Poeze ternyata tidak hanya berhenti disitu, pada 8 Juni 2007 lalu, di
Universitas Leide Belanda, Poeze meluncurkan buku yang berjudul ‘Verguisd en
Vergeten, Tan Malaka; De linkse Beweging en Indonesische Revolutien
1945-1959’. Buku setebal 2194 halaman ini di jual seharga 99,90 euro di
Eropa, dan cukup mendapat apresiasi dari halayak pembaca.
Pejuang Antikolonialisme
Sutan Ibrahim
Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun
1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan
pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan
Tanjung Morawa, Deli.
Penindasan terhadap
buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan
sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia
diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai
agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia
berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang
pan-Islamisme.
Ia berjuang
menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan
Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri,
Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila,
Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya
pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh ( Vietnam).
Ia tidak setuju
dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927
sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik
Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925).
Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik
Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.
Walaupun bukan
partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama
partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.
Perjuangan Tan
Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah diuraikan secara
rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah Indonesia merdeka,
perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh
testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak
dapat menjalankan tugasnya.
Namun, tahun
1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang
dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan
yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar
perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus
persen.
Tahun 1949 Tan
Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka
sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam
pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu
tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka
sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan
Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak
terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7
November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.
Harry Poeze
telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan
serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005
dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun
1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang
dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk
memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Tentu untuk ini
perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus
segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan
mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka
jenazah sang pahlawan nasional.
Temuan Baru
Banyak penemuan
baru yang terdapat dalam buku Tan Malaka yang terakhir ini. Sejarah revolusi
Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk ditinjau ulang. Peristiwa
Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman. Poeze menggunakan arsip Komintern
yang terdapat di Moskwa.
Ia juga
menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa
Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan
kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah.
Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah
menulis kepada "Paduka Tuan" Kolonel Djokosoejono, komandan tentara
kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto
menulis "saya menjamin keselamatan Pak Djoko". Dokumen ini menarik
karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam
peristiwa Madiun.
Dalam kondisi
ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan.
Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat,
namun kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa
di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade
merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat
dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni
dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang
dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika.
Menurutnya,
pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari
kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Tan
Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi
juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung Malaya atau bahkan dunia.
Harry Poeze
telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan
Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung,
di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas
perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa
selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat
brigjen, meninggal tahun 1980-an.
Dalam
penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-foto sejarah. Rapat raksasa di
lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September 1945, yang
dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen historis penting.
Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana. Tentara
Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat mengadakan rapat lebih
dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu dirancang pemuda untuk
memperlihatkan dukungan rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu untuk
menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara Jepang melakukan penembakan
massal terhadap penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan Soekarno berpidato
beberapa menit.
Poeze sempat
memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia menemukan seseorang yang memakai
helm di dekat Bung Karno ketika berpidato. Bahkan, pada salah satu foto,
Soekarno dan orang itu berjalan berdampingan. Setelah membandingkan berbagai
foto itu, berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu adalah Tan Malaka. Lelaki itu
lebih pendek dari Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok karena tinggi
Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65 meter.