Krisis Sudan dan Konflik Etnis Yang Didalangi Kepentingan Negara Asing

krisis sudan dan konflik etnis negara asingSudan atau yang memiliki nama resmi Republik Sudan adalah salah satu negara yang terletak di Afrika Utara (Afrika Timur Laut) sekaligus merupakan negara terbesar di Afrika. Tahun 1956 setelah merdeka dari Mesir dan Inggris, Sudan tidak pernah menikmati stabilitas politik dan terus diguncang perang saudara selama empat dekade terakhir. Jutaan orang tewas karena perang dan kelaparan dan jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal mereka. 

Awalnya, konflik disebabkan oleh faktor agama karena Islam fundamentalis yang diterapkan oleh pemerintah pusat ditentang oleh penduduk selatan yang mayoritas Kristen dan animis yang lebih menginginkan pemerintahan sekuler. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan sosial juga merupakan pemicu perang saudara itu. Pembahasan berikutnya akan dibagi ke dalam lima bagian, yaitu latar belakang krisis, dampak krisis terhadap keamanan regional dan internasional, peranan organisasi regional, reaksi internasional serta analisis geopolitik.

Latar Belakang Instabilitas Politik di Sudan

Perang Sipil yang sebenarnya dipicu oleh pembatalan Perjanjian Addis Ababa pada 1983 yang dibentuk pada tahun 1973 untuk mengakhiri fase awal perang sipil di selatan . Pihak sipil dan militer utara menolak otonomi dan kesetaraan wilayah selatan dan menganggap mereka sebagai second-class citizens. Kelompok selatan yang memberontak kemudian menamakan dirinya Sudan People’s Liberation Movement/Army (SPLM/A) dan terus-terusan menyerang pemerintah pusat. Ketegangan yang muncul antara pemberontak selatan dan pemerintah semakin lama lebih didasari oleh permasalahan ekonomi, yaitu karena perbedaan persepsi tentang siapa sesungguhnya pemilik minyak dan mineral lain di wilayah itu.

Berdasarkan Undang-Undang Tanah (The Land Act) tahun 1970, pemerintah menganggap semua lahan di mana minyak diproduksi dan dieksplorasi sebagai milik pemerintah,oleh karena itu minyak menjadi milik pemerintah pusat. Sebaliknya, SPLM tidak mengakui undang-undang itu karena dibuat pada periode awal perang sipil dengan tidak mengikutsertakan mereka. SPLM tetap menganggap bahwa tanah yang dihuni, baik permukaan maupun kandungan di dalamnya, adalah milik penduduk lokal.

Pada 5 Juni 2004, pemerintah Sudan dan SPLM menandatangani kesepakatan damai di Naivasha, Kenya, untuk mengakhiri perang sipil 21 tahun yang telah menewaskan 2 juta jiwa . Kesepakatan ini merupakan buah dari 2 tahun usaha AS, Kenya, Norwegia, Inggris dan PBB dan menyediakan pembagian kekuasaan politik dan hasil minyak antara pemerintah dan pemberontak selatan serta referendum pelepasan bagian selatan setelah 6 tahun pemerintahan sementara. Pembicaraan selanjutnya ternyata tidak membuahkan hasil dan pemerintahan sementara tidak pernah terwujud hingga tercapainya kesepakatan gencatan senjata.

Konflik yang berkembang tidak hanya berlangsung antara pemerintah dan SPLM tetapi juga melibatkan konflik antar penduduk muslim di Darfur. Krisis Darfur dimulai pada Februari 2003, ketika dua kelompok pemberontak muncul dan menyerang pemerintahan the National Islamic Front (NIF) akibat diskriminasi Arab-Non Arab. The Sudan Liberation Army (SLA) dan the Justice and Equality Movement (JEM) mengklaim bahwa pemerintah Sudan mendiskriminasi muslim Afrika di Darfur dan sebaliknya, pemerintah Sudan menganggap SLA and JEM sebagai teroris. Konflik yang dulunya merupakan konflik agama kini berubah menjadi konflik ras antara kelompok etnis Fur, Zaghawa, dan Massaleit yang banyak didukung kekuatan lokal dan luar negeri serta Teluk Persia, melawan etnis Arab. Gesekan makin terjadi ketika etnis mayoritas nomaden Arab memasuki wilayah pemukiman Darfur untuk mendapatkan air bersih dan rumput untuk menggembalakan ternak. Apalagi pemerintahan Sudan melakukan teror pada penduduk sipil untuk menumpas pemberontak dan pendukungnya.

Dampak Krisis Sudan Terhadap Keamanan Regional dan Internasional

Krisis Sudan telah mempengaruhi keamanan wilayah tetangganya, baik langsung maupun tak langsung. Saat konflik berlangsung, gerakan para pemberontak juga mengancam keamanan daerah perbatasan seperti Kenya, Mesir, Ethiopia, Uganda, Chad dan Libya serta menjadikan daerah-daerah itu rawan serangan teroris dan perdagangan senjata ilegal. Seperti yang dijelaskan dalam trickle down effect, bila ada satu negara dalam regional yang bergolak maka keamanan seluruh region itu pun juga tidak stabil. Negara-negara inilah yang kemudian melakukan operasi pengawasan gencatan senjata di di wilayah selatan atas nama African Union. Selain menimbulkan masalah keamanan, pengungsi Sudan juga memunculkan masalah baru bagi negara yang menjadi kamp pengungsian sementara. Laporan PBB pada tahun 2005 menyebutkan bahwa lebih dari 2 juta orang telah menempati kamp pengungsian di wilayah Chad . Jumlah itu belum termasuk pengungsi yang tersebar di daerah lain. Bagi dunia internasional, konflik Sudan merupakan ancaman penurunan cadangan minyak dunia mengingat wilayahnya yang diperkirakan mengandung 600 juta-1 miliar barrel cadangan minyak mentah.

Peranan Organisasi Regional Menyikapi Konflik Sudan

African Union (AU) berperan sebagai fasilitator dan pengawas dialog antara SLA/JEM dengan pemerintah. Organisasi ini juga menempatkan ribuan pasukan dari Rwanda, Gabon dan Nigeria untuk mengawasi gencatan senjata di Darfur. Mandat yang dimiliki AU ternyata sangat terbatas, baik dari segi jumlah pasukan, finansial maupun kekuatan bersenjata sehingga gencatan senjata juga tidak efektif. Hanya sebagian kecil pelanggaran yang dilaporkan kepada Joint Comission dan konflik pun semakin berkembang. Pada September 2004 setelah PBB memperluas misinya di AU dan memberikan sanksi pada pemerintah Sudan untuk menekannya, barulah pemerintah Sudan menyetujui perluasan misi AU walaupun kemudian mereka menolak proposal AU tentang perlindungan pada penduduk sipil dan upaya peacekeeping.

The Inter-Governmental Authority for Development (IGAD) -organisasi regional yang mengusahakan kooperasi dan perkembangan- membentuk komisi mediasi dengan dua organ yaitu konferensi tingkat tinggi yang dihadiri oleh kepala negara dari Ethiopia, Eritrea, Kenya dan Uganda, serta standing committee yang terdiri dari para mediator. Pembicaraan yang dilakukan kemudian menghasilkan Declaration of Principles (DOP) yang isinya antara lain diberikannya hak penentuan nasib sendiri dengan menjunjung tinggi kesatuan, pemerintahan sekulerisme, demokrasi multi partai dan penghargaan atas nilai HAM namun ditolak oleh NIF pemerintah pusat.

Reaksi Internasional

Amerika Serikat (AS) mempunyai kepentingan tersendiri dalam perdamaian Sudan. Jika perang tetap berlanjut, maka akses dan eksploitasi minyak yang menjanjikan di selatan akan terhambat dan dengan demikian mengancam kepentingan perusahaan AS. Untuk merespon ancaman terhadap kepentingan nasional AS pada 1990an, pemerintahan Clinton menjatuhkan sanksi berupa isolasi kepada Sudan dalam berbagai forum internasional . Selain itu AS juga mengupayakan pemberian sanksi di luar PBB seperti boikot terhadap minyak Sudan dan pembatasan akses kapal minyak Sudan di pelabuhan AS dan Eropa karena resistensi China terhadap sanksi PBB yang dimotori AS. Sanksi yang diberikan ternyata malah semakin memperpanjang perang dan gagal memperbaiki keadaan.

Kegagalan ini berusaha diperbaiki melalui pemerintahan Bush dengan mengirim Senator Danforth untuk menjadi mediator di Sudan. Selain mengusahakan perdamaian antara utara-selatan, Danforth juga mencari dukungan untuk penyelesaian konflik Sudan ke negara-negara tetangga dan negara donor seperti Mesir, Kenya, Inggris, Norwegia, Belanda, Swiss, Italia dan Kanada. Namun usaha Danforth ini gagal karena resistensi oleh penduduk lokal.

PBB membantu penyelesaian krisis Sudan melalui pemerian bantuan USAID serta membentuk Disaster Assistance Response Team (DART) untuk Darfur walaupun sempat ditunda oleh pemerintah Sudan. Selain itu PBB juga mengeluarkan Resolusi 1564 yang isinya tentang pemberian sanksi ekonomi pada pemerintah Khartoum jika tidak mau bekerja sama. Namun sanksi ini malah semakin memperlemah pertahanan Darfur untuk melindungi penduduk sipil. China menguasai 40 % sektor perminyakan Sudan.

Selama ini China selalu menentang pemberian sanksi PBB kepada Sudan. Sanksi yang dijatuhkan AS dan PBB malah semakin memperkuat hubungan China-Sudan, terbukti dengan pengalihan ekspor Sudan menjadi 60 % ke China dan sisanya ke negara-negara Asia lainnya. Selain itu, sanksi yang dijatuhkan juga hanya memperkuat gerakan anti Barat yang didengungkan oleh beberapa negara Liga Arab. Dalam pandangan China, sanksi apapun yang dijatuhkan pada Sudan dilihat sebagai perang terhadap kepentingan nasional China, mengingat arti penting minyak Sudan bagi China dan oleh karena itu memperburuk hubungan AS-China.

Analisis Geopolitik

Dalam teorinya, The Managerial Revolution, James Burnham menjelaskan apa yang ia sebut sebagai perubahan kontrol dunia oleh negara-negara industri – dalam hal ini Jerman, Jepang dan Amerika Serikat (AS)- mengantikan kontrol ideologis oleh komunisme dan liberalisme . Karena kontrol kini dipegang oleh negara-negara industri dimana negara-negara ini mempunyai kebutuhan akan sumber energi yang semakin tinggi, maka bisa dipahami bahwa minyak kemudian menjadi komoditas strategis bagi semua negara-bangsa, menggantikan rempah-rempah yang pada abad pertengahan menjadi tujuan utama penerapan strategi geopolitik negara-bangsa melalui imperialisme dan kolonialisme.

Sebenarnya persediaan minyak saat ini cukup untuk memenuhi permintaan dunia, tetapi berbagai krisis di ladang minyak seperti Badai Ivan di teluk Meksiko, kekerasan antar etnis di Nigeria, instabilitas politik di Venezuela, produksi minyak yang tidak dimaksimalkan di Irak, dan perkembangan sektor energi Rusia yang lambat membuat banyak pihak merasa harus memastikan kebutuhan minyaknya tercukupi dengan cara mencari sumber lain.

Dalam pemikiran geopolitik klasik, Mackinder menyebut Eurasia sebagai bagian penting pusat dunia . Siapa pun yang menguasai wilayah ini akan menguasai dunia. Oleh karena itu, AS meyakini bahwa pusat kompetisi geopolitik ada di Eurasia, meliputi kawasan Teluk Persia dan Laut Kaspia yang mengandung 70 persen cadangan minyak dunia . Teori-teori inilah yang menuntun para pembuat kebijakan AS dan China untuk ‘beramai-ramai’ mencondongkan kebijakan luar negerinya ke Sudan yang berbatasan langsung dengan Teluk Persia. Apalagi berbagai data telah menunjukkan potensi eksplorasi minyak Sudan yang luar biasa. Produksi minyak Sudan mendapat prioritas eksploitasi the Western Upper Nile (WUN), yang diprediksikan mengandung cadangan 600 juta-1 miliar barrel.Produksi tiap harinya mencapai 230.000-250.000 barrel tiap harinya . Dari data US Energy Information Administration, produksi minyak Sudan mencapai 98.523 ribu barrel tiap tahunnya dan menempati peringkat 35 negara penghasil minyak terbesar dunia. Saya pribadi cenderung pesimis dengan perdamaian Sudan. Selama negara ini masih menjadi arena perebutan kekuasaan negara-negara industri, perdamaian Sudan akan sulit untuk diwujudkan.

OKE, Sekian dulu posting dari saya mengenai Krisis Sudan dan Konflik Etnis Yang Didalangi Kepentingan Negara Asing.
Semoga bermanfaat.....!!

» JANGAN LUPA LIKE N Komentarnya Yeach...

= Baca Juga Sob =



Ditulis Oleh : Unknown ~ Berbagi Ilmu Pengetahuan

Artikel Krisis Sudan dan Konflik Etnis Yang Didalangi Kepentingan Negara Asing ini diposting oleh Unknown. Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link AKTIF artikel ini sebagai sumbernya. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

::..Get Free Daily Email Updates..::

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baru Lama HomE
to Top