Soekarno vs
Soeharto
Di dalam memoarnya yang baru diterbitkan tahun 2000, Subandrio mengatakan bahwa dokter yang memeriksa Sukarno adalah dokter keturunan Cina dari Kebayoran Baru bukan dokter dari RRC. Usia yang makin tua menyebabkan mantan Waperdam dan Menlu ini sulit mengingat suatu peristiwa secara persis. Namun sebetulnya apa yang disampaikannya barangkali juga ada benarnya. Karena dalam persidangan Mahmillub tahun 1966, Subandrio mengakui tentang keberadaan dokter dari RRC tersebut. Namun Presiden Soekarno juga memiliki dokter pribadi, salah satunya adalah Dr Tan. Mungkin dia yang dimaksud oleh Subandrio.
Menjelang
peristiwa G30S, isu sakitnya Presiden Sukarno menjadi salah satu pemicu
tindakan yang diambil oleh beberapa kelompok yang bertikai di bidang politik.
Jika Presiden Sukarno meninggal siapa penggantinya ? Sukarno pernah mengalami
gangguan ginjal dan pernah dirawat di Wina. Pada bulan Juli 1965 muncul rumor
tentang sakitnya Sukarno. Tanggal 4 Agustus ia muntah-muntah dan membatalkan
jadwal kerja hari itu. Desas-desus ini menyebar luas. Jenderal A Yani segera
berkunjung dan menjumpainya dalam keadaan “baik-baik saja”.
Di dalam memoarnya yang baru diterbitkan tahun 2000, Subandrio mengatakan bahwa dokter yang memeriksa Sukarno adalah dokter keturunan Cina dari Kebayoran Baru bukan dokter dari RRC. Usia yang makin tua menyebabkan mantan Waperdam dan Menlu ini sulit mengingat suatu peristiwa secara persis. Namun sebetulnya apa yang disampaikannya barangkali juga ada benarnya. Karena dalam persidangan Mahmillub tahun 1966, Subandrio mengakui tentang keberadaan dokter dari RRC tersebut. Namun Presiden Soekarno juga memiliki dokter pribadi, salah satunya adalah Dr Tan. Mungkin dia yang dimaksud oleh Subandrio.
Pada tanggal
4 Agustus 1965, Mahar Mardjono yang sedang praktek di RS St Carolus dijemput
oleh Mayor Dr. Darjono (Cakrabirawa) ke Istana Merdeka. Presiden Sukarno
muntah-muntah, pusing dan tidak bisa berdiri karena sempoyongan. Mahar melihat
ada dua dokter RRC di istana Merdeka. Tanggal 8 Agustus 1965, saksi (Mahar)
melihat DN Aidit di Istana Merdeka dan masuk ke ruangan tempat Bung Karno
diperiksa. Saat itu saksi sedang memeriksa kesehatan Presiden dengan dua
neurolog dari RRC. Aidit bertanya bagaimana kesehatan BK. Dijawab Mahar “baik”.
Menurut
Subandrio dalam persidangan, penyakit Presiden sebetulnya tidak serius, tapi
masalahnya Bung Karno tidak mau dioperasi. Oleh sebab itu para dokter dari RRC
itu melakukan pengobatan dengan ramuan tradisional untuk
mengobati/menghancurkan batu ginjal. Para dokter itu memang datang secara rutin
ke jakarta, dua kali dalam setahun.
“Membunuh”
Secara Pelan-pelan
Setelah
Soeharto berkuasa, perlakuan yang diberikannya terhadap Sukarno sekilas
kelihatan halus tetapi sebenarnya sangat menyakitkan. Hal ini terlihat
penuturan Oei Hong Kian yang pernah menjadi dokter gigi Bung Karno. Awal tahun
1967, dr Tan, dokter pribadi Sukarno meminta Oei datang ke Istana karena sang
Presiden sakit gigi. Ternyata peralatan gigi yang ada di Istana Negara sudah
ketinggalan jaman (berasal dari gudang NICA, Belanda), memakai bor gigi yang
tidak dilengkapi air pendingin. Oei menyarankan agar perawatan gigi itu
dilakukan di rumah sekaligus tempat praktiknya di jalan Serang karena
alat-alatnya lengkap dan modern. Namun hal itu tidak diijinkan oleh pihak
keamanan. Terpaksa alat-alat yang ada pada tempat praktik Drg Oei dibawa ke
Istana lalu dipasang. Setelah selesai dibawa kembali ke rumah dan dipasang pula
di sana. Betapa repotnya. Ternyata BK memerlukan perawatan yang intensif,
sehingga Oei terpaksa bolak-balik ke Istana. Setiap kali pengobatan Sukarno
menahan Oei untuk bercakap-cakap. Sang Presiden itu sangat kesepian. Tidak ada
lagi pembantu dan temannya yang berani datang ke Istana kecuali segelintir
orang seperti Leimena dan pengusaha Dasaat. Bulan Maret 1967, Soeharto diangkat
jadi Pejabat Presiden. Sukarno harus angkat kaki dari Istana Merdeka dan pindah
ke Bogor. Sebetulnya sejak lama ia sudah diperlakukan sebagai tahanan rumah.
Permulaan September 1967, Sukarno sakit gigi. Karena di Bogor tidak ada
alat-alat perawatan, ia harus datang ke dokter gigi. Namun itu dilakukan dengan
pengamanan yang ekstra ketat. Pukul 9 pagi, Sukarno datang, sebelumnya mobil
Drg Oei sudah dikeluarkan dari garasi. Mobil Sukarno masuk garasi dan pintu
garasi ditutup. Lalu Sukarno yang masih berstatus Presiden masuk ke rumah
dokter gigi melalui garasi. Ini persis seperti orang memasuki kamar motel di
Jakarta.
Enam orang
prajurit bersenjata lengkap masuk rumah. Bahkan salah satu di antaranya memaksa
untuk masuk ke ruang praktik. Drg Oei dapat meyakinkan bahwa ia harus menjaga
rahasia penyakit pasiennya sehingga tentara itu akhirnya menjaga di depan
pintu. Sukarno beberapa kali datang ke rumah ini bahkan belakangan ia juga
meminta kepada Drg Oei untuk menjadikan rumah itu tempat Bung Karno bertemu
dengan putra-putrinya walaupun hanya sesaat pada waktu gigi sang ayah dirawat.
Drg Oei tidak menyebutkan siapa saja di antara anak Sukarno yang berkunjung ke
sana. Bulan Maret 1968, Drg Oei pindah menetap di negeri Belanda. Sebelumnya
berangkat ia sudah siap untuk memberi cor emas pada gigi Sukarno, namun urung
terlaksana karena pengawasan terhadap Sukarno semakin diperketat. Dalam
perawatan itu Drg Oei membantu dengan ikhlas, ia sekali tidak dibayar oleh
Sukarno (yang memang tidak punya uang lagi) dan juga tidak oleh pemerintah.
Sejak awal
1968 Bung Karno berada dalam "karantina politik" dan tinggal di
pavilyun Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke peristirahatan "Hing Puri
Bima Sakti" di Batutulis Bogor. Sementara itu tuntutan masyarakat dibuat
sedemikian rupa agar semakin keras mendesak Sukarno diadili dengan dalih keterlibatan
dalam peristiwa G30S. Persangkaan itu diperkuat kenyataan bahwa Sukarno tidak
mau mengutuk PKI yang pimpinannya terlibat dalam percobaan kudeta tersebut.
Rachmawati
menemui Soeharto di Cendana meminta agar Bung Karno dipindahkan ke Jakarta.
Awal tahun 1969, Sukarno pindah ke Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto (sekarang
Museum Satria Mandala). Sementara itu Presiden RI pertama itu terus diperiksa
oleh Kopkamtib. Setelah sakit Sukarno makin parah, barulah Soeharto
memerintahkan menghentikan interogasi.
Sebelum Prof
Mahar Mardjono meninggal, ia sempat menceritakan kepada Dr Kartono Mohammad
bahwa obat yang diresepkannya disimpan saja di laci oleh dokter berpangkat
tinggi. Dr Kartono Mohammad sedang menulis kasus kesehatan Bung Karno dengan
mewawancarai antara lain perawat yang sehari-hari menunggui Bung Karno di Wisma
Yaso serta Prof Mahar dan Dr Wu Jie Ping (dokter Cina yang merawat Bung Karno).
Kepada Dr
Kartono Mohammad ia tanyakan lewat email :
1. Apakah Anda mendukung tesis "BK
dibunuh secara perlahan-perlahan oleh HMS ".
2. Pak Mahar mengatakan bahwa resep
yang dia berikan sengaja disimpan di laci oleh seorang dokter militer
berpangkat tinggi. Apakah dapat disebutkan inisial nama dokter tersebut ? Kalau
sang dokter masih hidup tentu dapat diperiksa siapa yang memerintahkannya.
Kalau tidak salah, komandan yang menahan BK itu adalah Brigjen (CPM) Nicklany,
apakah dia memerintahkan pelarangan pemberian resep obat kepada BK. Apakah Pak
Mahar juga menceritakan indikasi kesehatan lainnya ?
3. Di dalam buku Saelan dilampirkan
daftar obat yang biasa digunakan oleh BK. Bagaimana komentar Anda tentang
obat-obat tersebut, apakah itu untuk mengobat penyakitnya atau lebih banyak
berisi semacam suplement ?
4. Sebelum 1965 BK (dari buku Saelan)
dioperasi di Wina, satu ginjalnya diangkat dan yang satu lagi hanya berfungsi
25 %. Apakah saat terakhir beliau (BK) sudah gagal ginjal dan tidak diobati
sama sekali karena foto terakhir memperlihatkan pipinya yang sangat bengkak ?
5. Bagaimana pula komentar Anda tentang
pernyataan Dewi Soekarno bahwa sebelum meninggal BK ngorok selama lebih kurang
10 jam, yang konon katanya itu indikasi orang yang diberi obat tidur atau
diinjeksi. Benarkah demikian ?
Jawaban dari
Dr Kartono Mohammad: “Saya juga cenderung menduga bahwa Bung Karno
"dibiarkan meninggal" tanpa perawatan medis yang seharusnya
(Bandingkan dengan perawatan Suharto saat ini)”.
Tanggal 21
Juli 1970 tokoh proklamator itu wafat. Upacara pemakaman dilakukan secara
kenegaraan. Tetapi Soeharto masih mengatur lokasi kuburan sang mantan Presiden.
Maka dicari alasan bahwa Sukarno semasa hidupnya sangat mencintai ibunya, maka
selayaknya ia disemayamkan di samping makam ibunya di Blitar. Padahal dalam
surat wasiatnya beliau ingin dimakamkan di bumi parahiyangan (di Batu Tulis
atau di kebun raya Bogor). Terdapat protes dari istri-istri dan putra-putri
Sukarno, tetapi hal ini tidak diacuhkan oleh Soeharto. Jadi sampai soal liang
kubur Presiden Sukarno masih diatur oleh Jenderal Soeharto.
Soeharto
Tidak Membawa Sukarno Ke Pengadilan Dengan Strategi Ganda
Pertama,
Soeharto menjalankan muslihat "ngluruk tanpa bala", berperang tanpa
tentara. Ia berhasil menyingkirkan lawan politik terbesarnya tanpa membuang
banyak tenaga. Rakyat dibiarkan menghujat dan menuntut Sukarno ke pengadilan.
Sebab itu pemeriksaan oleh Kopkamtib terus dilaksanakan untuk mengakomodasi
tuntutan masyarakat tadi. Tetapi pemeriksaan itu lebih bersifat teror mental
yang akan melelahkan Bung Karno yang sudah sakit-sakitan. Kalau diadili belum
tentu terbukti kesalahan Sukarno, tetapi dengan tanpa pengadilan, rakyat sudah
termakan opini bahwa Presiden RI itu terlibat dalam percobaan kudeta G30S.
Kedua,
Soeharto dapat nama baik karena ia mengamalkan dan mensosialisasikan
"mikul dhuwur mendhem jero". Maksudnya orang tua harus dihormati,
tentunya dia berharap agar hal serupa diperlakukan masyarakat terhadap dia
nanti.
Pada akhir
pemerintahan Sukarno memang banyak orang yang mati karena kesulitan ekonomi,
tetapi tidak sebanyak rakyat yang menderita kekerasan oleh militer terutama
selama 1965-1998. Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang telah jadi korban
semasa Soeharto memerintah. Dimulai dari pembantaian terhadap PKI, penahanan
tanpa proses pengadilan di pulau Buru, pembunuhan misterius (petrus), kasus
Aceh, Irian Jaya , Timor Timur, Lampung, Tanjung Priok,) dan lain-lain.
Dari sudut
ekonomi, Soeharto secara simultan melakukan praktek dari jumlah korban manusia
dan totalitas uang yang "bocor", kesalahan Soeharto berlipat ganda
dari Sukarno. Memang diakui bahwa kedua tokoh ini telah menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi bangsa dan negara sehingga hal itu dapat meringankan
kesalahannya.
Pada saat
ini kita bertekad untuk menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu. Rakyat
menginginkan Soeharto diadili dengan tujuan penegakan hukum (tidak ada orang
kebal hukum) dan penegakan hukum sebaiknya seyogianya dimulai dari atas sekali
(Presiden). Tujuannya agar sejarah yang penuh darah pada masa Orde Baru tidak
terulang lagi. Karena ia masih sakit tentu dengan pertimbangan kemanusiaan,
boleh saja sementara kasusnya tidak dilanjutkan, walaupun sebetulnya secara
teknis masih ada cara untuk mengadilinya seperti yang dikemukakan oleh Profesor
Ahmad Ali pakar hukum dari Unhas. Kalau ia sembuh --Tuhan Maha Menentukan-- HMS
dapat diadili kembali.
Sampai akhir
hayatnya Sukarno tetap diatur oleh Soeharto. Soeharto lebih beruntung,
dimanjakan oleh pers dan beberapa artis serta pak Ustad yang dapat membacakan
doa sambil menangis. Bila ia meninggal, tentu ia akan dimakamkan di samping
istrinya di Astana Giribangun, Solo. Saya sependapat dalam hal ini dengan AM
Fatwa yang mengusulkan agar Soeharto membuat surat wasiat yang menghibahkan
sebagian terbesar hartanya bagi negara dan bagi keperluan sosial.
Kutipan :
"Kalau
pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak
menuntut pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri. Dan kalau kalian
tak mampu melakukan itu, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi, tapi tukar
saja dengan sarung!" (DN Aidit)
Bung Karno
meninggalkan Istana sebelum 16 Agustus 1967, keluar hanya memakai celana piyama
warna krem dan kaos oblong cap cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak,
memakai sandal cap Bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran
yang digulung agak besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. (Sogol
Djauhari Abdul Muchid, anggota DKP)
"De
Belandas hebben mij nog goed behandelt, maar, bangsa sendiri begitu kasar dan
kejam. Is dit als dank dat ik gekregen heb, voor wat ik gedaan heb voor mijn
volk en vanderland. Ik kan dit alles maar niet begrijpen. Apakah ini bentuk
terima kasih yang kudapat atas apa yang telah kulakukan untuk rakyat dan Tanah
Air? Aku tidak bisa mengerti semua ini. Ik wou maar dat ik de schot krijgt. Aku
ingin agar aku ditembak saja." (Bung Karno).
Dan
Sekarang, Soeharto Dianggap Pahlawan
4 tahun yang
lalu, Setelah Soeharto masuk RSPP, lingkungan paling dalam pemerintahan SBY-JK
sudah mempersiapkan teks belasungkawa itu. Bisa dibayangkan betapa rumitnya
kalkulasi yang dilakukan pemerintahan SBY-JK, termasuk mempertimbangkan laporan
intelijen– mengenai dinamika politik dan reaksi masyarakat.
ada isu
kalangan mahasiswa akan melancarkan demonstrasi besar-besaran untuk mendesak
pemerintah mengadili Soeharto. Di sisi lain para kroni Soeharto juga aktif
melakukan berbagai manuver, termasuk mengkooptasi sejumlah kalangan untuk
merekayasa keadaan, agar segenap unsur bangsa ini memaafkan dosa-dosa politik
Soeharto. Pada saat bersamaan persiapan pasukan keamanan juga meningkat sangat
intens, dengan indikator disiagakannya sejumlah panser di titik-titik
strategis.
Kini kita menjadi maklum.
Pemerintahan SBY telah melakukan siasat yang berani dan bahkan nekad, untuk
merehablitasi reputasi Soeharto, dan sekaligus menjejalkan ke kepala rakyat
Indonesia bahwa Soeharto adalah seorang pahlawan. Siasat ini adalah gabungan
dari cara kerja propaganda dan trik kehumasan. Sebuah indoktrinasi yang tak
kentara atau “kudeta” terhadap akal sehat dan suara nurani masyarakat. Ini “brain
washing” atau cuci otak, dimana obyeknya adalah rakyat, dengan memanfaatkan
kekuatan media massa.
Nah, para
pembaca yang budiman, terserah pada anda semua. Apakah anda sendiri menganggap
Soeharto sebagai pahlawan bangsa ataukah seorang tiran yang tega mengorbankan
rakyat demi memperkaya diri dan kelompoknya, serta menghilangkan nyawa banyak
orang untuk kelanggengan kekuasaannya ?