Pejabat Bukanlah Penjahat Gan


Pejabat = Penjahat ? - Sepele memang, rujukan dasar mengapa tersentak untuk kembali menulis di surat kabar. Sebuah view yang seolah lumrah dalam kehidupan sosial di masyarakat. Pejabat, terbiasa di dampingi Patwal dan diiringi antek-anteknya. Merinding bukan main, ketika suatu waktu berpapasan dengan abringan pejabat tadi. Sudut mata saya tak salah melihat seseorang bapak berdiri di tengah-tengah jalan. Tampaknya dia sedang menunggu mobil-mobil plat merah habis dihadapannya, lantas dia melanjutkan penyebrangannya. Saya bertanya dalam hati, kok rela ya si bapak mengunggu sedemikian setia untuk menyebrang jalan, membiarkan mobil-mobil tersebut lewat, lekas dia melanjutkan penyebrangannya. Jawab saya dalam hati “mungkin si bapak tua (rakyat jelata) itu tidak ngeh, bahwa yang lewat sedemikian angkuh itu memakai mobil miliknya.” Tapi kok aneh yang mengendarai dan yang menumpang di dalam mobil nggak ngeh bahwa mobil yang ia tumpangi adalah mobil orang yang ada di tengah jalan (si rakyat jelata itu).

Kiamat

Kiamat sudah makin dekat, kehidupan berputar dalam keadaan yang makin tidak normal. Majikan diperbudak oleh pelayannya, majikan memerankan diri menjadi pelayan dan pelayan memerankan diri menjadi majikan. Mereka seolah memainkan peran dengan begitu nik’mat, nyaman, seolah memang apa yang diperankannya memang sesuai sekenario yang sebenarnya. Namun sebenarnya semua itu hanyalah drama yang diujung perhitungan nanti akan ketahuan hitam putihnya. Inilah realita yang dikupas pada essay ini, memotret lebih rill fenomena lapangan tentang laku lampah pejabat yang seolah arogan memainkan perannya sebagai pejabat, mereka lupa bahwa yang mereka kelola adalah kepunyaan rakyat, dan mereka hidup dari keringat rakyat. Mereka katanya dikenal sebagai abdi negara namun dalam faktanya mereka mengidap penyakit rasa memiliki yang berlebihan akan kekayaan negara/rakyat atau segalanya berubah menjadi negara abdi bukan lagi abdi negara.

Essay sesi tausiah ini sengaja saya kedepankan, karena dalam catatan yang secara empirik bisa dibuktikan eks pejabat (masa pensiunnya) kurang memberikan kontribusi positif khususnya pada kehidupan sosial untuk masyarakat yang ada disekelilingnya. Hal ini juga dijelaskan dalam catatan kajian psikologi bahwa amat banyak pejabat yang ketika habis masa jabatannya mengidap banyak penyakit yang salah satunya penyakit psikologi yaitu megalonemia. Dalam Islam dijelaskan bahwa asupan makanan yang bagus, baik asupan moril maupun materil/makanan secara langsung maupun tidak langsung, cepat atau lambat, akan mempengaruhi karakter atau prilaku seseorang. Begitupun dengan catatan dalam ilmu biologi, gen diturunkan kepada anak tidak hanya semata pada catatan fisik mirip telinganya, mirip bentuk mukanya, alis namun juga karakter/watak juga diwariskan kepada anaknya. Sehingga dalam kajian orang lembur kita sering mendengarnya dengan sebutan tereuh dan lain sebagainya.

Jangan salahkan prilaku anak menyimpang, jika memang asupan nutrisi yang diberikan memang benar-benar tidak diperhatikan. Berapa banyak bapak yang bicara kepada rekan sebayanya “untuk menafkahi/memberi makan anak istri mah jangan menggunakan uang subhat.” ini semata karena ketakutan si bapak, jangan sampai nantinya menodai anaknya di kehidupannya kelak. Kalau dikasih makan uang subhat bisa-bisa anaknya tidak baik. Fakta membuktikan meski mencoba memberi makan dari uang halal, ternyata tidak menjamin anak menjadi baik. Apa mungkin ada faktor “X” yang mempengaruhinya. Hereditas ttidak secara fisik pun diwariskan kepada anaknya, termasuk watak baik-buruk sekalipun dari bapak/ibu pastilah akan diwariskan ekpada anak cucu kita. “buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.”

 Penyakit Megalonemia Merajalela

Mengapa pemandangan yang seolah lumrah seperti dikupas di muka bisa terjadi dalam kehidupan yang sangat dekat dengan kita. Pejabat alias orang yang punya kedudukan, mayoritas mengidap penyakit megalonemia. Beberapa pendapat yang menjelaskan bahwa megalonemia bukanlah merupakan penyakit, padahal kalau dalam kajian psikologi jelas megalonemia/gila jabatan, gila hormat merupakan penyakit. Penyakit ini terbentuk sebagai akibat pengulangan/tradisi yang dialami terus menerus yang akibatnya membatu menjadi sebuah keharusan dan tidak boleh tidak. Hal ini juga disebabkan karena adanya aturan protokoler, setiap bupati/wakil berkunjung harus disambut misalnya dengan tata upacara sakral dan lainnya, termasuk juga diakibatkan oleh prilaku masyarakat itu sendiri. Pelayanan kepada tukang becak dan kepada bupati/kepala dinas atau pejabat lainnya selalu dibedakan? Padahal mereka jelas manusia, sama-sama punya mata, hidung, telinga. Gusdur (alm) keluar dari istana dengan menggunakan celana kolor, Gusdur mempersilahkan istana menjadi rumah rakyat, padahal sebelumnya tidak pernah.

Masyarakat membentuk tata kehidupan yang salah menjadi seolah perlu diagungkan, kenapa bukan orang yang benar yang dihargai, kenapa harus pejabat misalnya? Padahal mungkin tukang becak tingkat kecurangannya dalam manipulasi/melakukan hal-hal negatif lebih sedikit dibanding yang pejabat. Kerjaannya lebih bersih, perbandingan antara keringat yang keluar dengan pendapatannya setimpal. Sedang pejabat? naudzubillah. Yang jelas kita mengenal pejabat itu bukanlah penjahat.

Fenomena Korupsi = Perbuatan Musyrik

Dalam kajian yang amat simple dan rasional kita bisa menjelaskan bahwa perbuatan menyekutukan Allah SWT tidak hanya pada  benda dalam bentuk patekong, atau patung dari dodol misalnya. Manusia yang menghambakan diri kepada selain Allah maka dia adalah musyrik, bagaimanan dengam mereka yang sudah menghambakan diri kepada uang? Kadar kemusyrikan seseorang tidak ada satupun orang yang bisa membuktikannya. Mungkin saja orang yang menghambakan diri kepada uang kadar musyriknya tidak 70%. Bukan itu persoalan yang kita akan perdebatkan, namun mari kita kaji bersama, berapa juta orang yang mendapat impac dari adanya korupsi pejabat-pejabat. Mungkin mereka tidak sadar bahwa di pelosok sana masih banyak warga yang belum menikmati listrik. Tiap kali bangun tidur hidungnya penuh dengan kotoran asap, namun berapa juta pejabat yang bergelimang dengan kekayaan, mobil tidak cukup satu harga ratusan juta bahkan mungkin milyar. Padahal? Mereka jelas duitnya didapat dari pengelolaan duit rakyatnya. Ironi, memang negeri ini. Yang jelas kita mengenal pejabat itu bukanlah penjahat.

Masyarakat seharusnya jeli, ketika seorang pejabat balik kampung lantas membagikan angpau jangan lah terlalu berbangga hati dengan pemberiannya. Mungkin saja itu uang kita yang mereka manipulasi seolah menjadi duit mereka. Sesungguhnya diberi itu tidak lebih baik dari memberi. Mari menjadi masyarakat yang sadar bahwa bukan pejabat yang akan menolong kita di surga, dan persepsi dosa bisa diampuni perlu pentafsiran ulang tampaknya. Apakah mungkin manusia korup lantas memanfaatkan harta sisa korupnya untuk dibagikan ke masyarakat seolah menjadi dermawan akan menghapuskan dosa? Di dunia sebenarnya kita sudah bisa mengukur apakah kita masuk kelompok penghuni surga atau neraka. Hanya pribadi malaikat dan tuhannya yang tahu, bukan pribadi orang lain yang tahu. Keterangan jelas dalam Qur’an dan Sunnah. Surga bukanlah alam seribu khayalan tapi rapot realita kehidupan kehidupan dunia. Dan sekali lagi bukan pejabat yang akan menolong nanti di neraka dan kita tahu sekali lagi bahwa kita mengenal pejabat itu bukanlah penjahat.

Sumber : Wandi S. Assayid,
(Kabag Media dan Penerbitan Ilmiah LPPM STKIP Setia Budhi Rangkasbitung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar