Selain itu,
umat muslim Rohingya seperti terpenjara di tempat kelahirannya sendiri. Mereka
tidak bisa bebas bepergian ke mana pun. Meskipun hanya ingin ke kota tetangga
saja, pihak militer selalu meminta surat resmi. Saat ini, sekitar 200 ribu
Muslim Rohingnya terpaksa tinggal di kamp pengungsi seadanya di Bangladesh.
“Kami
meninggalkan Myanmar karena kami diperlakukan dengan kejam oleh militer. Umat
Muslim di sana kalau tidak dibunuh, mereka disiksa ” ujar seorang
pengungsi, Nur Alam, seperti dikutip BBC, beberapa waktu lalu. Nur bersama 129
Muslim Rohingya begitu umat Islam yang tinggal di utara Arakan, Myanmar, biasa
disebut terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya.
Ia bersama kawan-kawannya nekat
melarikan diri dari Myanmar dengan menumpang perahu tradisional sepanjang 14
meter.
Mereka
berjejalan di atas perahu kayu dengan bekal seadanya. Akibat mesin perahu yang
mereka tumpangi rusak, Muslim Rohingya pun harus rela terkatung-katung di
lautan yang ganas.
Hingga akhirnya, mereka ditemukan nelayan Aceh dalam kondisi yang
mengenaskan. Menurut Nur, mereka terombang-ambing ombak di lautan ganas selama
20 hari.
Kami ingin
pergi ke Indonesia, Malaysia, atau negara lain yang mau menerima kami, tutur
Nur. Demi menyelamatkan diri dan akidah, mereka rela kelaparan dan kehausan di
tengah lautan. Begitulah
potret buram kuam Muslim Rohingya yang tinggal di bagian utara Arakan atau
negara bagian Rakhine. Kawasan yang dihuni umat Islam itu tercatat sebagai yang
termiskin dan terisolasi dari negara Myanmar atau Burma. Daerah itu berbatasan
dengan Bangladesh.
Sejak 1982,
Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga
negara Myanmar. Pemerintah di negara itu hanya menganggap mereka sebagai
imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya. Terjebak
dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan seperti itu, kaum Rohingya pun
memilih untuk meninggalkan Myanmar.
Tak mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari
negara yang dikuasai Junta Militer itu. Tak jarang mereka harus mengalami
kekerasan dan penyiksaan oleh pihak keamanan. Setelah mereka keluar dari negara
tersebut, mereka tidak diperkenankan untuk kembali.
Sebagian
besar dari mereka yang tidak tinggal di tempat pengungsian resmi memilih untuk
pergi ke negara lain melalui jalur laut, terutama melalui Laut Andaman.
Kemudian, pihak Pemerintah Thailand juga mengabarkan bahwa mereka telah menahan
sebanyak 100 orang Rohingya beberapa waktu yang lalu.
Pemerintah negeri Gajah Putih itu
menolak menerima mereka sebagai pengungsi. Untuk mengatasi masalah ini, PBB
sudah bergerak melalui salah satu organisasinya yang mengurusi pengungsi,
UNHCR.
Populasi
Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7
juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta
jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia: Report
On The Situation For Muslims In Burma pada Mei tahun 1997. Dalam laporan
tersebut, jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka 7 juta jiwa.
Mereka
kebanyakan datang dari India pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal
Inggris, gerakan antikolonialisasi di Burma berusaha menyingkirkan orang-orang
dari etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam. Bahkan, umat
Muslim di Burma sering sekali menjadi korban diskriminasi.
Pada tahun
1978 dan 1991, pihak militer Burma meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan
pimpinan umat Islam di Arakan. Operasi tersebut memicu terjadinya eksodus
besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh. Dalam operasi khusus itu,
militer tak segan-segan menggunakan kekerasan yang cenderung melanggar hak
asasi manusia.
Selain itu,
State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di
Myanmar selalu berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya
untuk memecah belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah
politik dan ekonomi.
Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi
dan Prome.
Lalu, pada
Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC
tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Hal tersebut mengakibatkan
terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim.
Kemudian, pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun
di negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal jalan
yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang Februari
hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan anti-Muslim di
negara bagian Karen.
Sejumlah masjid dihancurkan, Alquran dirobek dan dibakar.
Umat Islam
di negara bagian itu terpaksa harus mengungsi. Burma Digest juga mencatat, pada
tahun 2005, telah muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe,
negara bagian Rakhine (Arakan) tidak boleh mendapatkan akta kelahiran.
Hasilnya, hingga saat ini banyak
anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir. Selain itu, National Registration
Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi
kepada mereka yang memeluk agama Islam.
Mereka yang
sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama
mereka.
Bahkan,
Pemerintah Myanmar sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat Muslim yang
tujuannya untuk membedakan dengan kelas masyarakat yang lain. Umat Muslim
dijadikan warga negara kelas tiga.
Umat Islam
di negera itu juga merasakan diskriminasi di bidang pekerjaan dan pendidikan.
Umat Islam yang tidak mengganti
agamanya tak akan bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai
negeri. Tak hanya itu, istri mereka pun harus berpindah agama jika ingin
mendapat pekerjaan.
Pada Juni
2005, pemerintah memaksa seorang guru Muslim menutup sekolah swastanya meskipun
sekolah itu hanya mengajarkan kurikulum standar, seperti halnya sekolah negeri,
pemerintah tetap menutup sekolah itu. Sekolah swasta itu dituding mengajak
murid-muridnya untuk masuk Islam hanya karena sekolah itu menyediakan
pendidikan gratis. Selain itu, pemerintah juga pernah menangkap ulama Muslim di
Kota Dagon Selatan hanya karena membuka kursus Alquran bagi anak-anak Muslim di
rumahnya.
Begitulah
nasib Muslim Rohingya.
Nasib buruk yang dialami Muslim Rohingya mulai mendapat perhatian dari
Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor berita Islam, IINA, pada 1 Juni 2011,
melaporkan, Sekretariat Jenderal OKI yang bermarkas di Jeddah telah menggelar
sebuah pertemuan dengan para pemimpin senior Rohingya. Tujuannya, agar Muslim
Rohingya bisa hidup damai, sejahtera, dan memiliki masa depan yang lebih baik.
Dalam
pertemuan itu, para pemimpin senior Rohingya bersepakat untuk bekerja sama dan
bersatu di bawah sebuah badan koordinasi. Lewat badan koordiansi itulah, OKI
mendukung perjuangan Muslim Rohingya untuk merebut dan mendapatkan hak-haknya.
Pertemuan
itu telah melahirkan Arakan Rohingya Union (ARU) atau Persatuan Rohingya
Arakan. Lewat organisasi itu, Muslim Rohingya akan menempuh jalur politik untuk
mengatasi masalah-masalah yang dialami Muslim Rohingya.
Sumber : Berbagai Sumber
Bagaimana
Pendapat anda tentang hal tersebut..?
Ayo Kita
Bersama-sama BERDO’A untuk mereka :
Ya Allah ..
berilah kemuliaan pada mereka.
Ampunilah
dosa-dosa mereka.
Angkatlah
derajatnya
Musnahkanlah
kesengsaraannya
Masukkanlah
mereka dalam surga-Mu kelak.
Amin....!!
Semoga bermanfaat.....!!
» JANGAN LUPA LIKE N
Komentarnya Yeach...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar